Jumat, 04 Desember 2009

infDewasa ini sindrom penonton banyak sekali terjadi terutama di kota-kota besar. Sindrome penonton yang salah satu contohnya berupa sikap membiarkan seseorang dipukuli atau digarap pencopet merupakan suatu sikap ketidakpedulian seseorang terhadap lingkungan sekitarnya.

Mengapa hal seperti in dapat terjadi? Karena pada umumnya orang tidak mengetahui apa yang harus dilakukan, atau karena mereka tidak dapat mempercayai apa yang sedang mereka saksikanDan karena ragu apakah tindakan ‘turun tangan’ dapat dibenarkan, mereka memilih untuk tidak memberikan reaksi, semata-mata untuk menghindari kemungkinan salah bertindak. Mungkin juga karena menyangka bahwa kejadian yang mereka saksikan adalah sebuah adegan film; apalagi karena orang lain pun tidak melakukan sesuatu. Dengan kata lain, kekhawatiran melakukan kesalahan menahan dirinya untuk melakukan tindakan.

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pendidikan orang tua sangat mempengaruhi sifat seseorang di kemudian hari. Michelle Elliot, seorang psikolog mengatakan bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang terlalu mematuhi peraturan, pada umumnya takut memberikan pertolonga. Mereka menganggap bahwa sikap yang ‘baik’ dalam kasus di atas adalah ‘tidak melakukan sesuatu’ ; bahwa ‘bertindak’ sama saja dengan ‘mencampuri urusan orang’.
Bagaimana caranya mendidik anak agar mereka berkelakuan ‘baik’ dalam arti tidak agresif, tidak suka menyakiti dan suka menunjukkan ‘perhatian’ kepada orang lain? Beberapa cara yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut :

1. Gunakan kata-kata, jangan kekerasan. Anak-anak cenderung akan memperlihatkan sikap agresif bila mereka frustasi. Jalan keluar yang dapat ditempuh untuk mengendalikan keagresifan adalah dengan membiasakan mereka untuk menyelesaikan permasalahan lewat argumentasi.

Latihan yang dapat dilakukan misalnya ‘ permainan merangsang gagasan’. Misalnya tanyakan kepada anak apa yang sebaiknya harus dilakukan bila mainannya dirusak ‘tanpa sengaja’ oleh temannya. Berikan beberapa alternative. Memukul si ‘perusak’dengan akibat mereka berkelahi, menyimpan mainan yang gampang rusak bila temannya mengajak bermain, membuat kesepakatan ‘siapa merusak harus mengganti’. Dari sejumlah pilihan yang kita sodorkan, anak akan terangsang untuk berpikir, tindakan manakah yang seharusnya ia lakukan

2. Bantu anak untuk menentukan ‘strategi’. Bila orang tua melarang anaknya berkelahi dengan alasan apa pun, maka akibatnya anak menjadi lemah dan tidak berdaya, dan akan menjadi bulan-bulanan temannya. Anak-anak memerlukan strategi untuk melindungi dirinya sendiri. Akan sangat bermanfaat bila anak dilatih untuk ‘membela diri’ bila tak ada jalan lain yang lebih baik.

3. Berikan hukuman yang setimpal bagi setiap kesalahan
Orang tua dapat membiasakan anak untuk mengetahui bahwa untuk setiap tindakan ada konsekuensinya. Misalkan anak memecahkan jendela ketika sedang bermain bola-apalagi bila sebelumnya ia telah diperingatkan untuk tidak bermain di dalam rumah- ia harus menyumbangkan sebagian uang sakunya untuk memperbaiki jendela. Dengan melatih anak untuk bertanggungjawab atas semua perbuatannya, anak pun akan dapat meningkatkan kemampuan untuk memperbaiki kesalahannya.

4. Bantu anak untuk memperhatikan sekitarnya. Anak-anak dapat dilatih untuk belajar menemukan nilai-nilai kehidupan. Orang tua dapat menanyakan bagaimana pendapat mereka terhadap tindakan kekerasan yang kerap mereka saksikan di berbagai media. Bila orang tua tidak memberikan komentar apapun saat anak menonton ‘pembantaian’ itu, berarti mereka membiarkan diri terkena ‘sindrome penonton’, sekaligus menurunkannya kepada anak-anak.Pada umumnya orang tua khawatir bila membicarakan berita-berita yang menakutkan seperti penculikan anak, pembajakan pesawat, namun pada akhirnya anak juga akan mengetahuinya dari teman-teman.

5. Sadarkan anak membedakan khayalan dan kenyataan. Bila anak-anak sering menonton video yang banyak menampilkan adegan kekerasan, sadarkan mereka untuk membedakan khayalan dan kenyataan Bila anak-anak yang lebih besar menonton film-film dewasa, ungkapkan pendapat sebagai orang tua.

6. Tanyakan “Bagaimana perasaanmu bila…’. Diskusikan suatu kejadian khusus kepada anak, misalnya penodongan, gangguan di jalanan, atau bagi anak yang lebih besar tentang perkosaan. Bicarakan apa yang mungkin dirasakan oleh para korban. Dalm dunia modern seperti sekarang in, hamper tidak mungkin untuk menghindarkan anak dari berita ketidakadilan. Anak yang terbiasa diajak berbicara mengenai hal semacam in akan terbantu dalam usahanya meningkatkan kesadaran menolong orang lain.

7. Berikan contoh yang baik. Anak-anak belajar ‘bicara’ dari orang tua mereka. Dari mereka pulalah mereka dapat belajar bagaimana menjadi anak yang baik. Bila orang tua tergerak untuk membantu orang lain, maka anak pun akan belajar bahwa sikap seperti itulah yang harus mereka teladani.
__________________________________________________________________________________

0 komentar:

Posting Komentar